Prayitno, seorang pemuda lajang berusia 38 tahun, dua tahun lalu mengeluh sakit pada perut bagian bawah sebelah kiri. Setelah keluar masuk berbagai macam rumah sakit, akhirnya ia menerima vonis: keluhan di perutnya akibat tumor tulang ganas.
Sempat kaget dan panik, akhirnya Prayitno pasrah. Apalagi ketika diperlihatkan foto pertumbuhan tumor yang begitu cepat, katanya melukiskan suasana saat itu. Persis jamur yang tumbuh subur, tambah ibunya.
Kepanikan itu memang bisa dimaklumi, karena secara umum satu-satunya cara yang terpikir untuk menghilangkan tumor tersebut hanyalah amputasi. Dan kalau tindakan itu dilakukan, "amputasi penyelamatan" ini harus dilakukan terhadap seluruh tulang perut bawah sebelah kiri. Mungkinkah orang hidup tanpa punya rongga perut?
Untunglah di dalam kepanikan, mereka tetap berkeyakinan, sebelum ajal berpantang mati. Akhirnya, mereka mencoba berobat ke Rumah Sakit Dharmais di Jakarta, pusat rujukan kanker tertinggi di Indonesia.
Setelah diteliti, tim dokter berkesimpulan lain. Menghilangkan seluruh tulang perut pasien tak perlu dilakukan. Tumor ganas memang harus dilenyapkan. Namun, perut dan kaki kiri Prayitno, juga harus bisa dipertahankan.
Sesudah dua kali menjalani kemoterapi, sebagai upaya menangkal pertumbuhan tumor, pasien yang masih bujangan ini segera masuk ke ruang operasi. Pertengahan Januari lalu, tim dokter Dharmais di bawah koordinator ahli bedah tulang Dr. Nicolaas Cyrillus Budhiparama berhasil membersihkan seluruh tumor di perut pasien, mengembalikan tulang yang masih utuh, berikut memberi tulang pinggul buatan.
Pada kasus Prayitno, pembuatan pinggul buatan mutlak diperlukan, karena sebagian besar tulang pada bagian tersebut sudah terlanjur hancur dimakan kanker.
Setelah menjalani operasi selama sebelas jam, pasien kemudian mengikuti pengobatan pasca operasi dalam beberapa hari. Sekarang, dia telah tinggal kembali dengan orangtuanya di Semarang. Dia sangat bersyukur, karena ternyata tidak jadi kehilangan pinggul, perut dan kaki kiri.
Nasib serupa pernah menimpa seorang wanita muda penduduk Pasar Minggu, Jakarta. Dia sedang memasang foto dengan baik ke atas kursi, ketika mendadak terjatuh dengan paha terantuk ujung meja. Wanita yang baru dua bulan menikah ini merasakan benjolan kecil di atas tempurung kaki kirinya. Dia berobat ke dukun.
Entah berapa banyak dukun dia datangi, tetap saja ia didera rasa sakit. Akhirnya, dia pergi berobat ke rumah sakit terdekat. Setelah beberapa hari disana, kaki ini dioperasi, sesudahnya kok malahan jadi membengkak nggak karuan. Kini, wanita ini sedang menunggu jadwal operasi di RS Dharmais.
Bagaimanpun juga, vonis amputasi memang sangat mengerikan. Lihat saja pengalaman Kris, pemuda Jakarta tampan berusia 15 tahun. Tumor di tangan kanannya sudah sangat mencemaskan. Hatinya semakin hancur dan harapannya terhadap masa depan langsung berantakan sewaktu dokter memutuskan tangannya harus diamputasi.
Namun harapannya kembali cerah, semuanya ditangani di Dharmais. Dia tidak jadi kehilangan tangan kanan. Tumornya langsung bisa dibersihkan, dan yang pasti, pemuda ini tidak usah kehilangan aktivitasnya sehari-hari. Tangan kanannya sudah kembali normal.
“Ah, itu semua berkat Tuhan”, jawab dr. Budhiparama yang selalu dipanggil Nico. Dokter Indonesia pertama yang pernah menjabat Chef de Clinique Department of Orthopaedic Surgery Academisch Ziekenhuis di Leiden, Belanda ini segera menambahkan “Dan yang lebih penting, saya tidak sendirian menangani semua kasus tersebut. Kami kembangkan tim yang kompak, itulah kuncinya. Dalam era globalisasi, cara perawatan kesehatan memang harus antisipatif,” pungkasnya.
Tim dokter dari Dharmais-FKUI tersebut antara lain Prof. dr. Arry Harryanto, dr. Errol Hutagalung, dr. Ifran Saleh. Mungkin, banyak yang belum tahu, berbagai macam kasus tumor ganas telah mampu ditangani dengan sukses di Dharmais. Akhir Januari lalu, Presiden Soeharto dalam kedudukannya selaku ketua yayasan melakukan kunjungan kerja ke rumah sakit ini. Keberhasilan tersebut dilaporkan dan untuk pertama kalinya diketahui masyarakat luas.
Ternyata, dengan kemajuan iptek dan sumber daya manusia dalam kedokteran Indonesia, penanganan kanker tulang ganas yang biasanya hanya dapat dilakukan di Eropa dan Amerika, sekarang sudah bisa ditangani sendiri oleh putra-putri Indonesia.
Pada zaman kuno, memang hanya ada satu langkah tercepat untuk menghilangkan serangan kanker tulang ganas. Panggil dokter bedah, potong tulang yang diserang penyakit, selesai. Legenda pertolongan dan upaya penyembuhan semacam ini, konon memasyarakat sejak abad kelima Masehi.
Hal ini pula yang dilakukan ketika Santo Cosmos dan Damian ketika menyelamatkan kaki pasiennya. Tulang kaki yang sakit dipotong, kemudian disambung dengan bekas kaki pasien lain yang baru saja meninggal dunia.
Teknik Limb Salvage dalam penanganan tumor tulang itu sendiri, relatif masih sangat baru sejak diperkenalkan oleh Prof. Enneking tahun 1983. Dengan kemajuan di bidang kemoterapi dan teknik operasi, sekarang kualitas hidup pasien dengan tumor tulang ganas bisa jauh lebih meningkat. “Sehingga, asumsi umum bahwa penderita kanker tak ada obatnya dan hanya menunggu ajal adalah tidak benar,” kata Nico.
Saat ini, teknik dan pengobatan mencatat kemajuan pesat. Penanganan serangan tumor tulang ganas dengan amputasi bukan merupakan satu-satunya alternatif. Ada kemungkinan tulang yang terserang tumor ganas berada di bagian sangat tersembunyi, sehingga amputasi praktis tidak mungkin bisa dikerjakan. Atau pasien tersebut sudah terlambat berobat, dengan demikian tumornya terlanjur menyebar ke seluruh tubuh.
Menurut Dr. Abdul Muthalib, yang pernah bekerja di Rumah Sakit Anderson, AS, sering penderita kanker terlambat ditangani karena mereka baru datang ke dokter sesudah mengalami keluhan kosmetik. Misalnya, pipinya menonjol atau kakinya membengkak jadi tak karuan bentuknya.
Catatan tahun 1960-an menunjukkan penyembuhan serangan tumor tulang ganas dengan amputasi hanya mencapai angka rata-rata 20 persen. Dengan begitu, 80 persen pasien yang telah selesai dioperasi tetap meninggal dunia dalam jangka waktu lima tahun sesudahnya.
“Tak mengherankan bila lantas muncul anggapan, dioperasi atau tidak, pasiennya tetap aja tak tertolong,” kata Nico.
Namun dalam dua dasawarsa sesudahnya, menggunakan teknik terapi baru yang telah dikembangkan di hampir semua pusat penyembuhan kanker di seluruh dunia, angka keberhasilannya meningkat 80 persen. Kini teknik penyembuhan baru tersebut sudah mulai dikenalkan di Indonesia kepada para pasien penderita osteosarcoma dan ewing sarcoma. “Kami harus menggunakan pendekatan menyeluruh, karena itu perlu tim dokter untuk melakukannya,” jawab Muthalib.
Secara sederhana bisa disebutkan, sebelum dan sesudah dioperasi pasien harus menjalani kemoterapi lebih dulu. Sesudah tahap tersebut, baru tumor ganasnya dihilangkan. Tentu saja, kecuali kerja sama tim, metode ini memerlukan keterampilan tersendiri.
Pada kasus Kris dengan tumor di tangan kanannya, tulang tangan yang rusak diganti dengan salah satu tulang kering dari betisnya.Setiap kaki manusia mempunyai dua tulang kering.Tulang yang kecil, bisa diambil tanpa terlalu mengganggu aktivitas seseorang.
“Sebenarnya, kalau Indonesia sudah mempunyai bank tulang prosesnya bisa lebih cepat,” kata Nico yang dulu selain bekerja di AZL, juga pernah menerima latihan dari pakar bedah tulang dunia, Prof. Dubousset di Perancis.
Untuk merintis bank tulang, Nico menjalin hubungan dengan Euro Transplant Organization di Eropa. Mereka mengirimkan bekas pen (penyambungan tulang) dan segala macam eks tulang manusia yang sudah diawetkan.
Komponen termahal dalam setiap operasi tulang adalah harga pen dan mencari bentuk tulang yang cocok. Kalau sudah ada bank tulang, mungkin tak perlu lagi mengambil tulang dari pasien atau orang yang masih sehat.
Nico menunjuk salah satu anggota timnya, Pulunggono Sudarmo, MD yang adalah ahli radiologi. “Dia hapal semua macam bentuk tulang. Sehingga bisa mempermudah saya untuk menemukan tulang pengganti yang harus disambungkan,” jelasnya.
Tanpa banyak publikasi, kerja sama tim dokter di Dharmais-FKUI dalam upaya menangkal serangan tumor tulang ganas, mulai meraih keberhasilan yang sangat menggembirakan. “Kami akan selalu mengusahakan amputasi bukan alternatif terakhir,” terang Nico.
Nico kemudian melukiskan pengalamannya selama sebelas jam melakukan operasi terhadap Prayitno. Semua tulang yang sudah terlanjur rusak, dibuang. Yang masih baik di bersihkan dari sisa-sisa tumor, kemudian dipasang kembali. Bagian tulang yang ambrol, sebagai penggantinya dibuatkan yang baru. “Saat itu, kerja kami persis bagai mengganti sebagian komponen Robo-Cop,” kata Nico.
Sekarang, "Robo-Cop" termaksud sudah bisa berjalan serta menapak hidupnya yang baru. (jup)
Artikel lainnya dari prof nicolaas
Pengobatan regeneratif adalah proses penyembuhan jaringan dan organ serta memperbaiki fungsi yang menurun akibat penuaan, penyakit, kerusakan atau cacat, dengan menggunakan kemampuan sel-sel tubuh sendiri.
SelengkapnyaTinggi badan ideal adalah impian banyak orang. Artikel ini akan membahas mitos-mitos umum tentang tinggi badan. Yuk, simak artikelnya!
SelengkapnyaBunion adalah benjolan pada sendi jempol kaki akibat tekanan berlebih, yang sering disebabkan tekanan berlebihan, menimbulkan nyeri, kemerahan, dan penonjolan yang makin jelas.
Selengkapnya