Cedera rotator cuff sering dialami, tak hanya atlet tapi juga masyarakat umum, terutama seiring bertambahnya usia. Kondisi ini dapat mengganggu fungsi bahu dan kualitas hidup. Kenali gejalanya, baca selengkapnya di artikel ini!
Cedera rotator cuff merupakan kondisi muskuloskeletal yang sering dijumpai, melibatkan peradangan atau robekan pada satu atau lebih tendon yang membentuk rotator cuff di bahu. Kelompok otot dan tendon ini memiliki peran krusial dalam mengelilingi sendi bahu, memungkinkan rotasi lengan serta berbagai pergerakan bahu yang kompleks. Kondisi ini bervariasi dalam tingkat keparahan, mulai dari peradangan ringan hingga robekan total yang signifikan.
Prevalensi cedera rotator cuff yang tinggi menunjukkan bahwa kondisi ini bukan hanya masalah yang terbatas pada kelompok tertentu, seperti atlet profesional, melainkan kondisi yang meluas di populasi umum, terutama seiring bertambahnya usia. Data menunjukkan bahwa sekitar 10% individu berusia 50-an dan separuh dari mereka yang berusia di atas 70 tahun akan mengalami robekan rotator cuff. Selain itu, cedera ini dapat dialami oleh siapa saja yang aktif menggunakan sendi bahu, termasuk individu yang tidak terlibat dalam olahraga intens. Tingginya angka kejadian ini mengindikasikan adanya beban kesehatan masyarakat yang substansial, baik dalam hal diagnosis, pengobatan, maupun rehabilitasi. Oleh karena itu, program pencegahan dan edukasi kesehatan perlu menargetkan audiens yang lebih luas, melampaui hanya atlet atau pekerja fisik. Pemahaman yang komprehensif tentang kondisi ini sangat penting bagi individu untuk mengenali gejala awal dan mencari penanganan yang tepat waktu, yang berpotensi mengurangi morbiditas jangka panjang di tingkat populasi.
Secara umum, rotator cuff memiliki fungsi utama untuk mendukung pergerakan lengan yang kompleks, seperti mengangkat, memutar, dan menarik. Tanpa integritas rotator cuff, bahu tidak dapat digerakkan dengan leluasa dan stabil. Otot-otot ini secara kolektif berfungsi menstabilkan sendi bahu dan menunjang pergerakan esensial seperti mengangkat tangan ke atas serta memutar bahu ke arah dalam dan luar.
Rotator cuff adalah sekelompok otot dan tendon yang esensial untuk fungsi bahu, terdiri atas empat otot utama: Subscapularis, Supraspinatus, Infraspinatus, dan Teres minor. Otot-otot ini secara anatomis menghubungkan tulang lengan atas (humerus) dengan tulang belikat (scapula) dan tulang selangka (clavicula). Tendon-tendon dari keempat otot ini menyatu membentuk struktur menyerupai "tudung" atau "topi" yang membungkus kepala humerus, yang berfungsi sebagai "bola" dalam sendi bahu yang berbentuk "bola dan soket". Sendi ini memungkinkan gerakan bahu dalam lingkaran penuh, meskipun gerakan tersebut dapat terbatas akibat peradangan pada rotator cuff. Secara keseluruhan, keempat otot ini bekerja sama untuk menstabilkan dan menunjang pergerakan sendi bahu yang luas, termasuk mengangkat tangan ke atas serta memutar bahu ke arah dalam dan luar.
Rotator cuff tendinitis didefinisikan sebagai kondisi nyeri dan pembengkakan yang terjadi pada tendon rotator cuff dan bursa di sekitarnya. Bursa adalah kantung lunak berisi sedikit cairan yang berfungsi sebagai bantalan alami sendi, mengurangi gesekan antar struktur dan memungkinkan gerakan yang mulus. Kondisi ini sering kali dikenal dengan nama lain seperti impingement, bursitis, atau biceps tendinitis, yang menunjukkan keterkaitan dan tumpang tindih gejala di antara kondisi-kondisi tersebut. Tendinitis umumnya tidak terjadi secara mendadak, melainkan berkembang seiring waktu akibat stres atau iritasi berulang pada rotator cuff.
Cedera rotator cuff dapat berupa robekan parsial, di mana hanya sebagian dari tendon yang rusak, atau robekan total, yang berarti tendon robek sepenuhnya dari tulang. Robekan ini dapat berkembang sebagai konsekuensi dari tendinitis yang tidak diobati; iritasi jangka panjang dan melemahnya serat tendon secara progresif dapat menyebabkan robekan parsial atau bahkan total. Selain itu, robekan juga dapat terjadi secara akut (mendadak), misalnya akibat jatuh dengan posisi tangan terentang atau mengangkat beban terlalu berat secara tiba-tiba. Di sisi lain, robekan degeneratif timbul secara perlahan, sering kali disebabkan oleh faktor usia, gerakan repetitif yang berkepanjangan, atau pengapuran sendi bahu yang membentuk taji tulang (bone spur) yang kemudian menekan tendon.
Ada jalur patologis yang jelas dari peradangan menuju kompresi mekanis, dan akhirnya kerusakan struktural. Misalnya, tendinitis yang tidak diobati dapat memburuk dan menyebabkan robekan tendon, baik parsial maupun total. Demikian pula, pembengkakan tendon atau bursa dapat menyebabkan impingement, yang merupakan penjepitan tendon. Kontinum cedera ini menunjukkan bahwa cedera rotator cuff seringkali merupakan proses progresif, bukan hanya peristiwa tunggal. Ini berarti bahwa penanganan tendinitis dan impingement secara efektif pada tahap awal tidak hanya meredakan gejala, tetapi juga berfungsi sebagai strategi pencegahan yang krusial untuk menghindari perkembangan ke robekan yang lebih parah, yang seringkali memerlukan intervensi bedah yang lebih invasif dan pemulihan yang lebih lama.
Salah satu penyebab paling umum dari cedera rotator cuff adalah penggunaan bahu yang berulang-ulang dan berlebihan (overuse), terutama dalam olahraga atau pekerjaan yang memerlukan gerakan lengan di atas kepala secara repetitif. Contoh aktivitas berisiko tinggi meliputi tenis (gerakan servis yang berulang), baseball (sering melempar bola), atau angkat berat. Penggunaan otot yang berlebihan dan terus-menerus tanpa waktu istirahat yang cukup dapat menyebabkan peradangan, robekan tendon, atau pengikisan tendon secara bertahap.
Cedera rotator cuff juga dapat timbul secara mendadak (akut) akibat trauma langsung. Ini bisa terjadi saat seseorang jatuh dengan posisi tangan terentang, mengangkat beban yang terlalu berat secara tiba-tiba dengan posisi yang kurang tepat, atau akibat kecelakaan kendaraan bermotor yang menyebabkan dampak langsung pada bahu. Cedera akut ini terkadang dapat muncul bersamaan dengan cedera lain yang lebih parah, seperti patah tulang selangka atau dislokasi sendi bahu.
Seiring bertambahnya usia, tendon rotator cuff dapat mengalami penurunan kualitas dan kekuatan secara alami, yang dikenal sebagai degenerasi. Hal ini membuat tendon lebih rentan terhadap robekan atau peradangan bahkan tanpa adanya cedera traumatik yang jelas. Individu yang berusia lebih dari 40 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami cedera rotator cuff, bahkan dengan aktivitas fisik ringan. Cedera degeneratif ini seringkali timbul secara perlahan dan dapat berkaitan dengan pengapuran pada sendi bahu yang ditandai dengan munculnya taji tulang (bone spur), yang kemudian menyebabkan penekanan pada tendon rotator cuff saat lengan diangkat. Statistik menunjukkan bahwa sekitar 10% individu berusia 50-an dan separuh dari mereka yang berusia di atas 70 tahun akan memiliki robekan rotator cuff.
Ketidakseimbangan kekuatan antara otot-otot penggerak dan penstabil bahu dapat menjadi faktor risiko signifikan. Misalnya, jika otot pektoralis mayor (otot dada) lebih dominan dan kuat dibandingkan otot-otot rotator cuff yang lebih lemah, hal ini dapat menyebabkan ketegangan berlebihan pada tendon bahu dan memicu peradangan atau robekan. Selain itu, faktor biomekanik seperti postur tubuh yang buruk, ketegangan otot kronis, atau teknik yang salah saat melakukan aktivitas fisik (terutama saat mengangkat beban dengan posisi bahu yang tidak tepat) juga dapat memperburuk stres pada sendi bahu dan meningkatkan risiko cedera.
Rasa nyeri pada bahu adalah gejala utama dan paling umum dari cedera rotator cuff. Nyeri ini sering terlokalisasi di bagian depan atau sisi luar bahu dan dapat memburuk secara signifikan saat mengangkat atau menggerakkan lengan. Nyeri juga dapat menyebar (radiasi) dari bagian depan bahu ke samping lengan, terkadang hingga ke siku.
Keterbatasan gerakan bahu adalah gejala umum lainnya. Pasien seringkali melaporkan kesulitan yang signifikan untuk mengangkat lengan mereka ke atas atau memutar bahu dengan bebas. Hal ini secara langsung memengaruhi kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang sederhana, seperti mengangkat tangan ke atas untuk menyisir rambut, meraih benda dari rak tinggi, atau mengenakan pakaian. Keterbatasan gerak ini juga dapat menjadi tanda iritasi jangka panjang pada bahu.
Cedera rotator cuff dapat menyebabkan kelemahan yang nyata pada otot bahu, yang pada gilirannya memengaruhi kemampuan individu untuk mengangkat atau membawa beban. Gejala ini bermanifestasi sebagai penurunan kemampuan untuk mengangkat benda berat atau melakukan aktivitas yang membutuhkan kekuatan bahu. Kelemahan bahu juga dapat menjadi indikator iritasi kronis atau cedera langsung pada sendi.
Beberapa individu yang mengalami cedera rotator cuff mungkin melaporkan mendengar suara "klik", "kretek", atau "popping" saat menggerakkan lengan atau bahu mereka. Suara ini dapat menjadi indikasi adanya peradangan atau bahkan robekan pada tendon, di mana struktur yang rusak bergesekan atau terjepit selama gerakan sendi.
Diagnosis cedera rotator cuff memerlukan pendekatan sistematis yang melibatkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pencitraan medis. Proses ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab nyeri bahu secara akurat dan menentukan tingkat keparahan cedera. Proses diagnosis dimulai dengan anamnesis atau wawancara menyeluruh oleh penyedia layanan kesehatan. Dokter akan menanyakan riwayat cedera akut, pola gejala yang dirasakan (misalnya, kapan nyeri muncul, apa yang memperburuk/meredakannya), riwayat medis sebelumnya, serta hobi dan aktivitas kerja pasien. Penting juga untuk menanyakan tentang nyeri dada atau kesulitan bernapas untuk memastikan nyeri bahu tidak berasal dari kondisi jantung, serta keluhan baal atau kesemutan pada lengan untuk membedakannya dari saraf kejepit pada leher (cervical radiculopathy). Setelah itu dilakukan pemeriksaan fisik untuk menilai rentang gerak, kekuatan otot, mencari otot spesifik yang mengalami nyeri/kelemahan.
Setelah pemeriksaan fisik, pencitraan medis seringkali diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan menilai tingkat keparahan cedera:
1. Rontgen (Sinar X): Biasanya diambil sebagai tes skrining awal untuk mencari tulang yang patah, tanda-tanda radang sendi (artritis), atau adanya taji tulang (bone spur) di dalam atau di sekitar sendi bahu yang dapat menyebabkan impingement. Terkadang, kalsifikasi di sepanjang tendon juga dapat terlihat. Penting untuk mengeliminasi kemungkinan kondisi lain seperti artritis sebagai penyebab nyeri bahu.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging): Dianggap sebagai tes pilihan untuk cedera bahu yang signifikan karena kemampuannya dalam mengidentifikasi semua struktur yang membentuk rotator cuff. MRI dapat dengan jelas menunjukkan perubahan degenerasi, robekan parsial, atau robekan total pada tendon dan otot, atau kombinasi dari kondisi-kondisi ini.
3. USG (Ultrasonografi): Merupakan tes gelombang suara yang efektif untuk mengevaluasi tendon dan otot yang rusak. Keuntungan utama USG adalah kemampuannya untuk dilakukan saat bahu digerakkan, yang dapat membantu menemukan lokasi di mana rotator cuff terjepit atau robek secara dinamis. Namun, kualitas dan akurasi USG sangat bergantung pada keterampilan dan pengalaman teknisi ultrasound serta ahli radiologi yang melakukan dan menginterpretasikan tes.
Banyak kasus cedera rotator cuff, terutama tendinitis, impingement, atau robekan parsial, dapat diobati secara efektif tanpa memerlukan intervensi bedah. Tujuan utama dari pengobatan non-bedah adalah untuk meredakan gejala yang dialami pasien, bukan selalu untuk menyembuhkan robekan itu sendiri, mengingat banyak individu memiliki robekan rotator cuff namun tidak menunjukkan gejala nyeri. Sekitar 50% pasien dilaporkan menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan dengan pendekatan non-bedah. Keberadaan robekan pada pencitraan tidak selalu berarti bahwa intervensi agresif, seperti operasi, diperlukan, terutama jika pasien tidak bergejala atau gejalanya dapat dikelola. Hal ini menantang pandangan umum bahwa setiap "robekan" harus "diperbaiki," mengalihkan fokus dari patologi struktural murni ke dampak fungsional dan beban gejala pada pasien. Ini sangat penting untuk menghindari overtreatment dan mengelola ekspektasi pasien. Ini juga mendukung pendekatan konservatif sebagai lini pertama, bahkan untuk beberapa robekan total, jika fungsi bahu terjaga dan nyeri terkontrol. Dengan demikian, pengobatan menjadi lebih personal dan berpusat pada pasien, menekankan kualitas hidup dan fungsi, bukan hanya gambar MRI.
a. Istirahat dan Modifikasi Aktivitas: Mengistirahatkan bahu yang cedera sangat penting pada fase akut untuk memungkinkan peradangan mereda. Namun, penting untuk dicatat bahwa imobilisasi total tidak direkomendasikan, karena dapat menyebabkan sendi menjadi kaku dan berujung pada kondisi yang dikenal sebagai "frozen shoulder". Hal ini menunjukkan bahwa "istirahat" tidak berarti sama sekali tidak bergerak, melainkan "istirahat aktif" atau gerakan lembut yang tidak membebani tendon. Oleh karena itu, modifikasi aktivitas harian, seperti mengubah cara mengangkat lengan, membawa benda, atau posisi tidur, sangat dianjurkan untuk mengurangi beban pada rotator cuff.
b. Terapi Dingin (Kompres Es): Aplikasi es atau kompres dingin pada bahu yang cedera adalah metode yang efektif untuk mengurangi peradangan dan meredakan nyeri. Disarankan untuk mengaplikasikan es dua kali sehari selama minimal 20-30 menit.
c. NSAID (Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs): Obat-obatan seperti ibuprofen, naproxen, atau sejenisnya dapat diresepkan untuk membantu mengurangi nyeri dan pembengkakan. Penting untuk mengonsumsi obat ini sesuai petunjuk dokter.
d. Suntikan Kortikosteroid: Suntikan kortikosteroid dapat diberikan langsung ke area di atas tendon yang cedera untuk mengurangi peradangan dan nyeri. Meskipun dapat memberikan pereda nyeri jangka panjang, penggunaannya harus dibatasi dan hanya dilakukan jika diindikasikan secara spesifik, karena terlalu banyak injeksi kortikosteroid berpotensi merusak tendon.
e. Terapi Fisik: Terapi fisik dianggap sebagai langkah terpenting dalam pengobatan cedera rotator cuff. Program terapi fisik yang disesuaikan akan membantu memperkuat otot-otot bahu (terutama otot-otot di punggung dan bagian belakang bahu), mengembalikan fleksibilitas, dan meningkatkan rentang gerak sendi.
f. Terapi Laser: Sistem Laser Multiwave Lock (MLS) atau terapi laser dingin adalah pendekatan non-invasif dan bebas nyeri yang menggunakan energi cahaya terkonsentrasi untuk merangsang proses penyembuhan alami tubuh dan mengurangi nyeri. Pasien biasanya menjalani 6 hingga 10 sesi terapi laser selama dua hingga tiga minggu.
Pembedahan umumnya dipertimbangkan jika cedera rotator cuff parah atau tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan setelah beberapa bulan menjalani perawatan konservatif, dan injeksi steroid hanya memberikan pereda nyeri sementara. Robekan total atau robekan yang memburuk tanpa pengobatan yang memadai mungkin memerlukan intervensi bedah.
Perawatan cedera rotator cuff mengikuti pendekatan bertahap, dengan opsi yang lebih invasif dicadangkan untuk kasus yang lebih parah atau yang tidak merespons pengobatan awal. Ini menggarisbawahi pentingnya penilaian dokter untuk menentukan prosedur yang paling tepat.
a. Perbaikan Tendon dengan Artroskopi: Ini adalah prosedur invasif minimal di mana ahli bedah membuat beberapa sayatan kecil. Kamera kecil (artroskop) dan peralatan khusus dimasukkan untuk menyambungkan kembali tendon yang robek ke tulang.
b. Perbaikan Tendon dengan Bedah Terbuka: Untuk kasus cedera tertentu yang lebih kompleks atau parah, ahli bedah mungkin perlu membuat sayatan yang lebih besar untuk menyambungkan kembali tendon. Prosedur ini mungkin memerlukan waktu penyembuhan dan rehabilitasi yang sedikit lebih lama dibandingkan artroskopi.
c. Transfer Tendon: Jika tendon yang robek sangat parah sehingga tidak dapat disambungkan kembali, ahli bedah dapat mengambil tendon dari area sekitar cedera dan mentransfernya untuk menggantikan tendon yang rusak.
d. Penggantian Sendi Bahu: Dalam kasus yang sangat parah, di mana cedera pada rotator cuff menyebabkan kerusakan sendi yang signifikan dan prosedur perbaikan tidak lagi memungkinkan, penggantian sendi bahu mungkin diperlukan untuk memulihkan fungsi dan mengurangi nyeri.
Durasi pemulihan cedera rotator cuff sangat bervariasi tergantung pada tingkat keparahannya. Cedera ringan biasanya pulih dalam beberapa minggu dengan istirahat, fisioterapi, dan obat anti-nyeri. Namun, robekan yang lebih besar atau cedera parah yang memerlukan operasi dapat memakan waktu berbulan-bulan untuk pemulihan total dan kembali beraktivitas normal. Kebanyakan pasien yang menjalani operasi memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk dapat kembali beraktivitas seperti sediakala. Konsistensi dalam menjalankan program rehabilitasi sangat penting untuk mencapai hasil yang maksimal.
*Artikel ini di-review oleh dr. Hendy Hidayat, Sp.OT dan bekerja sama dengan Nicolaas Budhiparama, MD., PhD., SpOT(K) dari Nicolaas Institute of Constructive Orthopedic Research & Education Foundation for Arthroplasty & Sports Medicine.
www.dokternicolaas.com
instagram: @dokternicolaas
Artikel lainnya dari prof nicolaas
Fraktur atau patah tulang bisa sembuh alami, tapi pada kondisi tertentu diperlukan penanganan khusus seperti bone graft. Apa itu bone graft? Bagaimana jenis dan prosedurnya? Yuk, simak penjelasan lengkapnya di artikel berikut!
SelengkapnyaSering disangka pengapuran, padahal berbeda! Artritis Reumatoid bisa menyerang siapa saja, bahkan usia muda. Kenali gejalanya yang datang-dan-pergi, penyebab autoimunnya, hingga penanganan medis dan terapinya di artikel ini.
Selengkapnya